Di bagian pertama, saya sudah membahas tentang pentingnya open mic
sebagai tulang punggung dari pengembangan komunitas stand-up comedy di
sebuah kota (atau kampus dan sekolah, sama saja prinsipnya).
Sekarang, fase kedua. Seandainya open mic sudah bisa terselenggara
dengan rutin dan relatif lancar, maka yang berikutnya adalah
menyelenggarakan event sendiri. Ada dua jenis event yang biasanya
dilakukan: stand-up nite & tour. Keduanya memiliki tujuan yang sama:
Menarik lebih banyak massa dan memperkenalkan stand-up comedy ke lebih
banyak orang. Juga, memberikan “panggung” untuk comic lokal yang memang
dianggap sudah layak tampil.
1. STAND-UP NITE
Istilah “stand-up nite” sendiri awalnya adalah judul event tanggal 13
Juli 2011, yang akhirnya tercatat menjadi event bersejarah. Namun
seiring perkembangannya, istilah “stand-up nite” sinonim dengan sebuah
penyelenggaraan event stand-up comedy yang di Amerika lebih dikenal
dengan istilah “line-up show”, alias mempertontonkan banyak comic
sekaligus.
Bicara event, pasti bicara modal dan untung/rugi. Disinilah panitia
sudah harus berhitung. Komponen biaya yang paling besar biasanya adalah:
- Sewa tempat berikut kelengkapannya (sound / lighting)
- Publikasi (poster, spanduk, dll.)
- Guest comic (honor + transportasi/akomodasi)
Biasanya, guest comic akan jadi magnet untuk menarik penonton. Itulah
mengapa komunitas sebaiknya melakukan riset yang teliti tentang siapa
comic yang akan diundang. Yang disukai oleh internal komunitas, belum
tentu diminati oleh penonton secara umum. Perlu ada keseimbangan.
Demi menghemat biaya, saya menyarankan dalam sebuah penyelenggaraan
stand-up nite sebaiknya cukup mengundang 1-2 guest comic saja. Dan soal
honor, jangan khawatir. Masih banyak sekali comic yang meskipun sudah
sering wara-wiri di TV, tapi punya ketulusan untuk membantu pengembangan
komunitas.
2. TOUR
Menjadi bagian dari rangkaian tour seorang comic akan memberikan
berdampak positif bagi sebuah komunitas. Ada dua keunggulan tour
dibandingkan stand-up nite:
1. Hype di social media.
Comic yang melakukan tur sudah pasti akan melakukan promosi secara
intens. Belum lagi didukung oleh comic-comic lainnya, plus diamplifikasi
oleh semua kota yang ia datangi. Hype ini yang sulit ditandingi oleh
stand-up nite berskala lokal.
2. Menyontek ilmu.
Dibandingkan stand-up nite, sudah pasti persiapan dan penampilan dari
seorang comic yang melakukan tour akan jauh lebih intens. Durasi
tampilnya saja jauh berbeda. Ini bisa menjadi sumber inspirasi dan
motivasi bagi para comic lokal.
Namun dibandingkan dengan stand-up nite, tour juga memiliki tingkat
kerumitan yang lebih tinggi. Ini utamanya disebabkan oleh idealisme dari
comic yang melakukan tour. Dan tentunya ini adalah sesuatu yang wajar,
mengingat perlunya ada keseragaman dari konsep tour tersebut di setiap
kota dimana ia diadakan. Seringkali, idealisme comic ini menyebabkan
biaya produksi event menjadi lebih mahal dibandingkan dengan stand-up
nite. Bisa jadi karena tuntutan untuk kapasitas gedung yang lebih besar,
sound system yang lebih baik, dan lain-lain.
Mengingat tour adalah kerjasama antara kedua pihak yang sama-sama
berkepentingan yakni comic dan komunitas, maka hal paling krusial yang
harus disepakati di awal adalah bagaimana sistem pendanaan dan pembagian
keuntungannya. Sifat orang Indonesia yang seringkali sungkan untuk
membahas masalah uang harus disingkirkan jauh-jauh kali ini, karena
justru bisa menyebabkan konflik di kemudian hari.
Karena tour sendiri masih merupakan sesuatu yang baru, jadi sulit
juga bila ditanya bentuk kerjasama apakah yang paling ideal. Ini
tergantung dari banyak faktor. Menurut saya, mana bentuk kerjasama yang
ideal adalah sebuah kerjasama dimana kedua belah pihak merasa tidak
merasa dirugikan, alias win-win. Apapun bentuknya.
Dilihat dari segi keuangan, berikut beberapa contoh bentuk kerjasama
tour berikut contohnya, dengan asumsi kondisi tanpa sponsor:
1. Comic sebagai pemodal (no risk, no gain).
Ini adalah bentuk kerjasama yang saya jalankan waktu #MeremMelekTour
kota 1-5, April-Mei 2012. Dalam format ini, 100% modal dibiayai oleh
comic (sewa tempat, perlengkapan, dll.), dan komunitas mendapatkan
kompensasi sejumlah uang untuk kerja tim mereka dalam penyelenggaraan
acara. Format ini menurut saya paling masuk akal pada saat itu, karena
resiko 100% ditanggung oleh saya sendiri. Tiket laku atau tidak, jumlah
uang yang diterima oleh komunitas tetap sesuai dengan kesepakatan awal.
Bagi komunitas, plus minusnya adalah sebagai berikut:
(+) Zero risk. Tidak keluar modal sepeser pun.
(-) Seandainya tiketnya sold-out sekalipun, komunitas tidak akan mendapatkan bagian.
Sampai saat ini, bentuk kerjasama seperti ini belum pernah terjadi lagi,
karena menurut saya ini memang terlalu beresiko bagi si comic.
2. Komunitas sebagai pemodal (high risk, high gain).
Ini adalah kebalikan dari sistem sebelumnya. Disini, 100% pemodalan
dilakukan oleh komunitas, dan seluruh hasil penjualan tiket pun menjadi
milik komunitas. Tapi, agak mirip seperti stand-up nite, disini
komunitas harus menanggung penuh biaya fee (bila ada), transportasi, dan
akomodasi si comic beserta rombongannya. Plus minusnya bagi komunitas:
(+) Seandainya tiketnya laku, maka hasil yang didapat bisa sangat besar.
(-) Seandainya penjualan tiketnya tidak mencapai target, maka harus siap merugi.
Bentuk kerjasama ini termasuk salah satu yang paling populer saat ini.
Meski tidak pukul rata di semua kota, namun praktek ini sudah dijalankan
oleh beberapa tour seperti #AbsurdTour Kemal Palevi, #tanpabatas Sammy
DP, dan #TACL Ryan Adriandhy.
3. Partnership (low risk, low gain).
Ini adalah sistem hibrida yang menggabungkan dua bentuk diatas. Ge
Pamungkas dan #3GPtour-nya menjalankan sistem ini, demikian pula dengan
#MarahTawa milik Setiawan Yogy. Disini, baik modal maupun hasil
ditanggung bersama. Sebagai contoh, untuk #3GPtour, Merem Melek
Management menanggung biaya fee comic, akomodasi, & transportasi.
Sementara komunitas menanggung biaya penyelenggaraan event. Kemudian
hasilnya dibagi dua, sesuai dengan persentase yang disepakati bersama.
Plus minusnya bagi komunitas:
(+) Meski tetap butuh modal, namun resikonya berkurang.
(-) Karena hasil pendapatan harus dibagi dua, maka potensi profit pun terbatas.
Dari tiga format diatas, mana yang paling ideal? Tergantung selera
masing-masing. Yang terpenting menurut saya, baik komunitas ataupun
comic sudah paham resikonya dari awal, dan tidak ada yang merasa
diperlakukan secara tidak adil.
***
Demikian bagian kedua dari serial tulisan saya tentang pengembangan
komunitas stand-up comedy lokal. Di bagian terakhir nanti, saya akan
membahas soal manajemen keuangan bagi komunitas lokal. Semoga berguna
Sumber : http://neonspark.wordpress.com
No comments:
Post a Comment